Serangan yang semakin meningkat terhadap kapal-kapal di Laut Merah telah membuat pengirim barang harus beradaptasi dengan perubahan rute perjalanan. Ini tidak hanya menambah jarak perjalanan dan emisi karbon, tetapi juga menimbulkan tantangan bagi perusahaan dalam mengurangi emisi pemanasan global mereka.
Perubahan rutinitas ini tidak terkendali, dan para pelaku bisnis harus siap untuk menyesuaikan strategi mereka. Pandemi COVID-19, cuaca ekstrem, proteksionisme perdagangan, hingga kenaikan biaya pengangkutan merupakan beberapa contoh gangguan yang harus dihadapi oleh perusahaan.
Banyak perusahaan, termasuk Arla Foods dan Nestle, sudah merasakan dampak dari peningkatan biaya pengiriman akibat perubahan rute perjalanan kapal. Hal ini tidak hanya berdampak pada keuangan perusahaan, tetapi juga membawa konsekuensi negatif terhadap lingkungan.
Dalam mengatasi hal ini, beberapa perusahaan memilih untuk mengoptimalkan rantai pasokan mereka dengan mengalihkan perhatian pada pemasok yang lebih dekat dengan negara asal mereka. Upaya tersebut sering disebut sebagai “nearshoring” dan memungkinkan perusahaan untuk lebih melokalisasi operasi mereka.
Perubahan rute pelayaran tidak hanya meningkatkan emisi CO2, tetapi juga menghasilkan partikel polusi seperti sulfat dan jelaga hitam. Dampak buruk dari emisi pelayaran tersebut tidak dapat diabaikan, mengingat pentingnya upaya bersama untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Meskipun tantangan terus muncul, business leader harus tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi mereka dan mendukung upaya global untuk melawan perubahan iklim. Hanya dengan kerja sama yang solid, kita dapat mencapai tujuan bersama untuk menjaga lingkungan dan meningkatkan keberlanjutan bisnis di masa yang akan datang.