Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang akan segera berakhir berencana untuk memberikan bantuan militer senilai lebih dari USD6 miliar (Rp94 triliun) ke Ukraina sebelum pelantikan Presiden terpilih Donald Trump. Namun, masalahnya adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan bantuan tersebut ke Ukraina setelah pengumuman paket bantuan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Hal ini berarti bantuan terakhir mungkin tidak akan sampai ke Ukraina sebelum Trump kembali ke Gedung Putih.
Menurut dua pejabat pemerintah, Trump berhasil memenangkan masa jabatan kedua sebagai presiden Amerika Serikat dalam pemilu 2024. Hal ini merupakan kebangkitan bersejarah bagi Partai Republik yang sebelumnya kalah dalam pemilihan presiden AS 2020 dari Presiden Biden yang akan segera lengser.
Rencana Biden untuk memberikan bantuan kepada Ukraina dipicu oleh kekhawatiran bahwa Trump, yang telah mengkritik dukungan Biden terhadap Kiev, mungkin akan menghentikan atau mengurangi bantuan yang didanai oleh pembayar pajak AS. Pejabat pemerintah menyatakan bahwa pemerintah berencana untuk terus maju dan menempatkan Ukraina pada posisi yang sekuat mungkin.
Meskipun ada kendala yang besar, rencana tersebut dianggap sebagai satu-satunya pilihan untuk mempertahankan aliran senjata ke Ukraina. Pejabat AS khawatir bahwa meskipun Biden menyetujui bantuan baru, Pentagon mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan untuk benar-benar mengirimkan amunisi dan peralatan ke Ukraina, dan pengiriman tersebut dapat dihentikan oleh panglima tertinggi berikutnya kapan saja.
Sejak Februari 2022, Kongres AS telah menyetujui lebih dari USD174 miliar untuk mendukung Ukraina dalam konfliknya dengan Rusia. Namun, tahap terakhir sebesar USD61 miliar ditunda selama beberapa bulan karena kebuntuan antara Partai Republik dan Gedung Putih. Dari paket bantuan tersebut, hanya tersisa USD4,3 miliar bersama dengan USD2 miliar lainnya yang dialokasikan untuk kontrak baru dengan industri senjata AS.
Dengan pengiriman senilai USD2,8 miliar yang telah diumumkan sebelumnya, Gedung Putih hanya memiliki lebih dari USD9 miliar yang tersedia untuk pasokan darurat ke Kiev. Meskipun kemenangan Trump tidak akan mengubah sikap Washington terhadap Moskow, hal tersebut dapat membuat akses Ukraina terhadap uang pembayar pajak Amerika menjadi lebih sulit.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa Trump cenderung tidak suka membuang-buang uang untuk berbagai hal, termasuk bantuan kepada negara-negara asing. Trump sendiri telah menyatakan bahwa Ukraina tidak mampu melawan Rusia secara militer, dan dia telah mengkritik Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai “penjual terhebat dalam sejarah”.
Trump bahkan mengklaim bahwa dia bisa mengakhiri konflik Ukraina dalam waktu 24 jam jika terpilih kembali. Namun, dalam pidato kemenangannya, Trump menegaskan bahwa dia tidak akan memulai perang, melainkan akan berusaha menghentikan perang.
Dengan berbagai dinamika politik dan kebijakan luar negeri yang terjadi, situasi di Ukraina tetap menjadi sorotan dunia internasional. Semoga bantuan yang diberikan oleh pemerintah AS dapat membantu Ukraina dalam menghadapi tantangan yang ada.