Ketegangan antara Beijing dan Tokyo telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan Menteri Luar Negeri Jepang, Takeshi Iwaya, menyatakan kekhawatiran atas agresivitas militer China yang semakin memuncak. Perselisihan ini berasal dari berbagai titik api geopolitik, seperti sengketa teritorial, pembatasan ekonomi, dan penahanan warga negara Jepang di China. Hal ini juga menimbulkan kecemasan regional atas aktivitas China di sekitar Taiwan dan Filipina.
Perkembangan ini menyoroti hubungan yang rapuh di wilayah Indo-Pasifik dan menunjukkan tantangan terhadap stabilitas regional akibat agresi China. Sejarah hubungan antara Jepang dan China penuh dengan konflik, kerja sama, dan persaingan. Sengketa teritorial, terutama mengenai Kepulauan Senkaku (Diaoyu oleh China) di Laut China Timur, telah menjadi sumber ketegangan yang terus-menerus antara kedua negara.
Jepang, setelah Perang Dunia II, mengadopsi konstitusi pasifis dan menahan diri dari pengembangan kekuatan militer besar. Namun, ekspansi militer China yang cepat telah mendorong Tokyo untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pasifis tersebut. Belakangan ini, Jepang telah meningkatkan kemampuan militernya dan memperkuat aliansi dengan negara-negara lain di kawasan.
Ketegangan ekonomi juga telah menambah lapisan konflik dalam hubungan antara kedua negara. Larangan impor makanan laut Jepang oleh China sebagai respons terhadap pelepasan air limbah olahan dari Fukushima telah menimbulkan kritik dari pihak Jepang. Tindakan tersebut tidak hanya mengganggu ekspor makanan laut Jepang, tetapi juga menunjukkan bahwa China menggunakan alat ekonomi dalam perselisihan geopolitik.
Penahanan seorang pengusaha Jepang oleh China atas tuduhan spionase juga telah memperburuk hubungan diplomatik kedua negara. Meskipun detail kasus tersebut masih belum jelas, hal ini telah menimbulkan keresahan di Jepang dan memunculkan pertanyaan tentang keselamatan warga negara Jepang di China.
Kekhawatiran Jepang tidak hanya terbatas pada masalah bilateral dengan China, tetapi juga pada pendekatan otoriter China terhadap tantangan internal dan eksternal. Ini telah menambah ketidakpercayaan antara kedua negara dan meningkatkan persepsi tentang strategi China dalam memberikan tekanan dan pengaruh ekonomi.
Tokyo telah menyerukan transparansi dan pembebasan warga negaranya yang ditahan di China, namun Beijing tetap kukuh dengan prosedur hukumnya. Insiden ini semakin memperdalam ketidakpercayaan antara kedua negara dan meningkatkan persepsi tentang pendekatan otoriter China terhadap tantangan baik dari dalam maupun luar negeri.
Dengan demikian, ketegangan antara Beijing dan Tokyo terus berlanjut, dengan berbagai isu yang memperumit hubungan bilateral mereka. Diperlukan kerja sama dan dialog yang konstruktif untuk mengatasi perbedaan dan mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.